SEBUAH KRITIK NOVEL ZAHIR KARYA PAULO COELHO METODE GANZHEIT
Identitas Novel
Judul :
Zahir
Pengarang :
Paulo Coelho
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal Novel :
437 halaman
Sinopsis Novel Zahir
Karya Paulo Coelho
Seorang istri sampai pada acomodadornya, titik menyerah yang menghalangi untuk melangkah lebih jauh bersama suami yang dicintainya. Pilihannya hanya dua, yaitu berhenti mencintai atau menunggu suaminya mendatanginya. Esther memilih menghilang, pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan jejak-jejak samar. Jika suaminya mencintainya, suaminya akan mencarinya meskipun dengan jejak yang teramat minim.
Narasi novel ini dipegang oleh “aku”, suami Esther. Si suami adalah pemuda yang dulunya sangat miskin, yang kemudian menjadi terkenal karena kepiwaiannya menulis lirik lagu. Sebelum menjadi suami Esther, dia sudah tiga kali menikah, dan selama menikah dengan Esther, dia juga beberapa kali berhubungan dengan perempuan lain. Namun si suami selalu kembali pada Esther dan menganggap tempat Esther tidak akan tergantikan oleh siapapun.
Esther gigih mencarikan jalan bagi suaminya untuk menulis buku. Si suami selalu memiliki banyak alasan untuk tidak menulis buku, padahal itulah yang sangat dicita-citakannya. Esther melakukan semuanya untuk membuat suaminya percaya diri dan berkonsentrasi, mulai dari merayu, menemani sampai akhirnya memaksanya melakukan tetirah. Usaha Esther berhasil dan suaminya menjadi tambah terkenal selayaknya selebriti.
Tiba-tiba Esther yang wartawan memutuskan untuk meliput perang, dan semakin keranjingan berada di medan perang sampai berbulan-bulan. Menurutnya, orang-orang yang sedang berperang adalah orang-orang yang benar-benar mencintai kehidupan. Suaminya membebaskan Esther sebagaimana Esther juga membebaskan dirinya. Mereka bahkan saling tidak cemburu lagi meskipun sadar di tempat berjauhan dan lama memungkinkan keduanya menjalin hubungan dengan orang lain. Bahkan ketika Esther menyebut nama Mikhail, penerjemahnya di medan perang, suaminya menerimanya dengan biasa saja.
Akhirnya Esther lenyap. Awalnya suaminya dipenjara sebagai tersangka. Tapi kemudian polisi melihat bahwa Esther telah mempersiapkan semuanya. Si suami marah tapi juga bingung. Awalnya dia sedih luar biasa seolah hidupnya berhenti. Baginya Esther adalah zahirnya, sesuatu yang disentuh atau dilihat, takkan pernah bisa terlupakan, dan sedikit demi sedikit akan memenuhi seluruh pikiran kita, sehingga kita terjerumus dalam kegilaan. Lambat laun, dia menulis gila-gilaan dan menghasilkan satu novel terkenal curahan hatinya. Dia juga menjalin hubungan serius dengan Marie, editornya yang sangat peduli padanya.
Meskipun sudah dua tahun Esther menghilang, si suami tidak kunjung tenang karena ada perasaan tidak selesai dalam dirinya. Dia memutuskan mencari Esther melalui Mikhail. Dia menelusuri melalui orang-orang yang dikenal Esther, yang kebanyakan adalah orang-orang tidak bahagia dan pengemis. Esther memberi secarik kain berdarah, bekas baju tentara yang tewas, yang kemudian digunakan si suami sebagai benang merah untuk menemukan Esther. Dalam pencarian itu, si suami semakin mengenal pribadi Esther yang dicintai orang banyak, sementara dia sendiri yang memperlakukan cinta dengan sinis dan satir, mulai mengerti cinta dalam arti terdalamnya.
Ketika Mikhail melihat perubahan mendasar pada pandangan si suami tentang cinta, Mikhail bersedia mengantarnya ke tempat Esther menentramkan diri, yaitu di sebuah padang rumput tandus di Kazakhtan, dimana memang tidak ada sesuatupun untuk membuat manusia menginginkan sesuatu kecuali cinta. Esther mengisi harinya dengan membuat karpet sambil membaca novel-novel suaminya, serta mengajarkan bahasa Perancis pada perempuan setempat.
Melihat kesederhanaan Esther saat itu, dan suara Esther membacakan bagian terakhir novel si suami pada perempuan-perempuan desa yang sedang membuat karpet, si suami tercekat haru. Menurut kata-kata bijak Persia, cinta adalah penyakit yang tak seorang pun ingin bebas darinya. Mereka yang tertular tak ingin sembuh, dan mereka yang menderita tak ingin diobati (Coelho, 2014:429).
Pada saat itu cintanya pada Esther mencapai satu lingkarangan penuh. Bahkan ketika Esther mengaku sedang hamil dari laki-laki yang hanya singgah sebentar dalam hidupnya, si suami tidak peduli karena si suami juga merasa bertanggung jawab hingga Esther harus menyiksa diri sekian lama di medan perang hingga akhirnya menyingkir ke dunia yang sangat sepi itu. Esther mengulurkan kain dengan bercak darah terakhirnya, yang disimpan untuk si suami, “Aku rindu pada perdebatan-perdebatan kita.”
Seorang istri sampai pada acomodadornya, titik menyerah yang menghalangi untuk melangkah lebih jauh bersama suami yang dicintainya. Pilihannya hanya dua, yaitu berhenti mencintai atau menunggu suaminya mendatanginya. Esther memilih menghilang, pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan jejak-jejak samar. Jika suaminya mencintainya, suaminya akan mencarinya meskipun dengan jejak yang teramat minim.
Narasi novel ini dipegang oleh “aku”, suami Esther. Si suami adalah pemuda yang dulunya sangat miskin, yang kemudian menjadi terkenal karena kepiwaiannya menulis lirik lagu. Sebelum menjadi suami Esther, dia sudah tiga kali menikah, dan selama menikah dengan Esther, dia juga beberapa kali berhubungan dengan perempuan lain. Namun si suami selalu kembali pada Esther dan menganggap tempat Esther tidak akan tergantikan oleh siapapun.
Esther gigih mencarikan jalan bagi suaminya untuk menulis buku. Si suami selalu memiliki banyak alasan untuk tidak menulis buku, padahal itulah yang sangat dicita-citakannya. Esther melakukan semuanya untuk membuat suaminya percaya diri dan berkonsentrasi, mulai dari merayu, menemani sampai akhirnya memaksanya melakukan tetirah. Usaha Esther berhasil dan suaminya menjadi tambah terkenal selayaknya selebriti.
Tiba-tiba Esther yang wartawan memutuskan untuk meliput perang, dan semakin keranjingan berada di medan perang sampai berbulan-bulan. Menurutnya, orang-orang yang sedang berperang adalah orang-orang yang benar-benar mencintai kehidupan. Suaminya membebaskan Esther sebagaimana Esther juga membebaskan dirinya. Mereka bahkan saling tidak cemburu lagi meskipun sadar di tempat berjauhan dan lama memungkinkan keduanya menjalin hubungan dengan orang lain. Bahkan ketika Esther menyebut nama Mikhail, penerjemahnya di medan perang, suaminya menerimanya dengan biasa saja.
Akhirnya Esther lenyap. Awalnya suaminya dipenjara sebagai tersangka. Tapi kemudian polisi melihat bahwa Esther telah mempersiapkan semuanya. Si suami marah tapi juga bingung. Awalnya dia sedih luar biasa seolah hidupnya berhenti. Baginya Esther adalah zahirnya, sesuatu yang disentuh atau dilihat, takkan pernah bisa terlupakan, dan sedikit demi sedikit akan memenuhi seluruh pikiran kita, sehingga kita terjerumus dalam kegilaan. Lambat laun, dia menulis gila-gilaan dan menghasilkan satu novel terkenal curahan hatinya. Dia juga menjalin hubungan serius dengan Marie, editornya yang sangat peduli padanya.
Meskipun sudah dua tahun Esther menghilang, si suami tidak kunjung tenang karena ada perasaan tidak selesai dalam dirinya. Dia memutuskan mencari Esther melalui Mikhail. Dia menelusuri melalui orang-orang yang dikenal Esther, yang kebanyakan adalah orang-orang tidak bahagia dan pengemis. Esther memberi secarik kain berdarah, bekas baju tentara yang tewas, yang kemudian digunakan si suami sebagai benang merah untuk menemukan Esther. Dalam pencarian itu, si suami semakin mengenal pribadi Esther yang dicintai orang banyak, sementara dia sendiri yang memperlakukan cinta dengan sinis dan satir, mulai mengerti cinta dalam arti terdalamnya.
Ketika Mikhail melihat perubahan mendasar pada pandangan si suami tentang cinta, Mikhail bersedia mengantarnya ke tempat Esther menentramkan diri, yaitu di sebuah padang rumput tandus di Kazakhtan, dimana memang tidak ada sesuatupun untuk membuat manusia menginginkan sesuatu kecuali cinta. Esther mengisi harinya dengan membuat karpet sambil membaca novel-novel suaminya, serta mengajarkan bahasa Perancis pada perempuan setempat.
Melihat kesederhanaan Esther saat itu, dan suara Esther membacakan bagian terakhir novel si suami pada perempuan-perempuan desa yang sedang membuat karpet, si suami tercekat haru. Menurut kata-kata bijak Persia, cinta adalah penyakit yang tak seorang pun ingin bebas darinya. Mereka yang tertular tak ingin sembuh, dan mereka yang menderita tak ingin diobati (Coelho, 2014:429).
Pada saat itu cintanya pada Esther mencapai satu lingkarangan penuh. Bahkan ketika Esther mengaku sedang hamil dari laki-laki yang hanya singgah sebentar dalam hidupnya, si suami tidak peduli karena si suami juga merasa bertanggung jawab hingga Esther harus menyiksa diri sekian lama di medan perang hingga akhirnya menyingkir ke dunia yang sangat sepi itu. Esther mengulurkan kain dengan bercak darah terakhirnya, yang disimpan untuk si suami, “Aku rindu pada perdebatan-perdebatan kita.”
B.
Kritik
Novel Zahir Karya Paulo Coelho Metode Ganzheit
1.
Unsur
Intrinsik dan Ekstrinsik
Novel Zahir adalah karya terbaru Paulo Coelho. Novel ini menceritakan tentang seorang suami yang merupakan tokoh Aku ditinggal oleh istrinya yang bernama Esther. Esther adalah seorang wartawan perang, ia lebih suka berkumpul dengan para tentara dibandingkan dengan suaminya. Hal ini dikarenakan Esther merasa suaminya tidak seperti dulu lagi, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari suaminya. Selain masalah percintaan, novel ini juga membahas tentang masalah agama/sistem kepercayaan. Tema tentang sistem kepercayaan merupakan ciri khas dari Paulo, pada hampir semua novel karya Paulo yang saya baca, tema yang diangkat selalu berkutat dalam lingkup sistem kepercayaan dan hakikat kehidupan.
Sebagian besar novel
karangan Paulo Coelho mengajak pembaca agar merenungkan kembali makna
kehidupan, tidak terkecuali dalam novel Zahir
ini. Cara Paulo melibatkan pembaca dalam setiap usaha mempertanyakan hakikat
kehidupan biasanya dengan menyuguhkan suatu masalah kemudian masalah tersebut
memunculkan pertanyaan. Pada halaman 19 tokoh Aku yang sedang terlibat masalah
bertanya tentang kebebasan “Tapi apakah sebenarnya kebebasan?” pada halaman
berikutnya ia menjawab pertanyaan tersebut dengan menghadirkan kejadian masa
lalu, seakan ia ingin berkata bahwa masa lalu adalah pelajaran yang paling
berharga “Aku tahu kebebasan sangat mahal harganya, semahal perbudakan;...”
(Coelho, 2014:23). Mayoritas pesan yang ingin disampaikan, ia sampaikan melalui
cuplikan kejadian masa lalu, yang kemudian ia simpulkan menjadi sebuah sari
kehidupan.
Tema sistem
kepercayaan, percintaan, dan hakikat hidup adalah tema umum yang sering menjadi
tema novel-novel best seller. Novel Zahir mengangkat tema sistem kepercayaan
berupa agama mistis dan hakikat hidup. Pengarang juga membicarakan tentang
percintaan, kisah percintaan ia gunakan sebagai penghubung tema sistem
kepercayaan dan hakikat kehidupan. Sistem kepercayaan berupa agama mistis dan
hakikat hidup selalu menjadi masalah utama pada setiap novelnya. Beberapa novel
Paulo yang mengangkat kedua tema tersebut di antaranya: Sang Alkemis, Sang Penyihir
dari Portobelo, Iblis dan Miss Prym,
dan Ziarah.
Tema-tema yang
diangkat Paulo tidak jarang menjadi objek kritikan para pengkritik
novel-novelnya, salah satu kritikan yang dia catat ia tuangkan ke dalam novel Zahir, berikut adalah cuplikan dari
kritikan tersebut “...pengarang telah menemukan kunci keberhasilan
pemasaran...” (Coelho, 2014:89). “....buku itu akan selaris buku-bukunya
terdahulu, yang hanya membuktikan bahwa umat manusia tidak siap menghadapi
tragedi di sekitar mereka...” (Coelho, 2014:89-90). Hal ini menjadi menarik
ketika Coelho mengkritik para pengkritiknya dalam sebuah novel. Sejauh yang
saya tahu, novel ini adalah satu-satunya novel yang mengkritik para kritikus
sastra (novel) dan hal ini menjadi ciri tersendiri novel Zahir. Selain itu, Coelho juga memberikan wahana atau cara baru
dalam mengkritik para kritikus sastra.
Latar novel ini
dibagi dalam beberapa tempat, yaitu Prancis, Spanyol, Kroasia, dan Kazakhstan.
Paulo menggambarkan Prancis sebagai daerah megah yang dipenuhi oleh seniman.
Namun, Paulo menggambarkan sisi lain dari kota Paris, sisi kota Paris yang
kumuh di mana para tunawisma berkumpul. Paulo menggambarkan Spanyol secara
sepintas, Spanyol digambarkan sebagai tempat dia melakukan perjalanan ziarah ke
Santiago. Perjalanan menuju Santiago ini ia tuangkan dalam sebuah novel yang
berjudul Ziarah. Spanyol hanya
menjadi latar selingan dalam novel ini, karena hanya menjadi latar cerita pada
beberapa halaman. Sama halnya dengan Spanyol, Kroasia juga menjadi latar
selingan karena digambarkan hanya dalam beberapa halaman. Selanjutnya adalah
Kazakhstan, Kazakhstan menjadi latar pendukung karena Paulo mengambil latar
Kazakhstan sebagai tempat Mikhail lahir dan tumbuh besar. Selain itu,
Kazakhstan juga menjadi latar akhir dalam novel Zahir, di mana tokoh Aku dan Esther akhirnya bertemu kembali.
Tokoh utama dalam
novel ini adalah tokoh Aku, tokoh Aku tidak pernah disebut namanya oleh
pengarang. Pengarang hanya menyebutnya dengan beberapa sebuatan, di antaranya:
Aku, suami Esther, atau mantan suami Esther. Tokoh Aku yang menentukan jalannya
cerita dalam novel ini. Tokoh Aku masuk penjara, menulis buku, bertemu kekasih
barunya Marie, bertemu Mikhail seorang pria yang menuntunya menemukan Esther,
hingga akhirnya bertemu kembali dengan Esther di Kazakhstan.
Selain tokoh Aku, ada
tiga tokoh lain yang mengarahkan ceirta dalam novel ini, tokoh pertama adalah
Esther, Esteher adalah seorang istri dari tokoh Aku yang berprofesi sebagai
wartawan. Selanjutnya adalah tokoh Marie, Marie adalah kekasih dari tokoh Aku.
Kemudian terakhir adalah tokoh Mikhail, yaitu seorang pria yang memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi dengan makhluk yang berada pada alam lain. Dari segi
penggambaran watak tokoh, Paulo menggambarkan tokoh Marie dan Mikhail dengan
lemah, sehingga pembaca kurang terkesan dengan kedua tokoh tersebut. Sementara
itu, tokoh aku dan Esther juga tidak digambarkan dengan karakter yang kuat,
Esther digambarkan sebagai tokoh yang memiliki pendirian teguh sedangkan tokoh
Aku adalah orang yang masih mencari arti kehidupan, sehingg sering goyah ketika
dihadapkan dengan masalah.
Selain penggambaran
karakter tokoh yang kurang kuat, novel ini juga menyuguhkan alur yang monoton.
Pada bagian awal novel, Paulo menyajikan konflik antara tokoh Aku dan sipir
penjara, konflik yang disajikan adalah konflik sedang tidak terlalu tinggi.
Hingga akhir cerita konflik yang terjadi adalah konflik sedang, memang terdapat
klimaks dari novel ini, namun klimaks ini disuguhkan dengan konflik yang
sedang. Alur adalah hal penting dalam sebuah cerita, ketika alur dikemas dengan
baik, maka sebuah cerita akan menarik pembaca untuk terus menyelami cerita.
Alur yang monoton inilah yang membuat saya kadang merasa bosan ketika membaca
novel ini. Alasan yang membuat saya tetap membacanya adalah tema yang menarik
(menurut saya), seperti yang dikatakan Descrates dalam Gaarder (2013:375)
“Gagasan tentang Tuhan itu sudah merupakan bawaan, dan sudah dicapkan pada kita
sejak lahir seperti cap perajin yang ditempelkan pada hasil karyanya”. Hal
inilah yang membuat saya terus membaca novel Zahir, mencari makna cap Perajin yang ditempelkan pada saya, salah
satu dari hasil karya Perajin.
Budaya
Novel Zahir menggambarkan secara jelas tentang kebudayaan orang Eropa yaitu Prancis. Novel ini menggambarkan bagaimana mudahnya seorang yang telah menikah dapat tidur dengan orang lain yang bukan istrinya, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut “Anda tidur dengan orang lain hanya karena hari yang membosankan? ...wanita itu sedang mencari suatu yang menggairahkan, aku sedang mencari petualangan, dan terjadilah. Esok harinya, kami bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa...” (Coelho, 2014:18).
Novel adalah hasil tiruan realita kehidupan. Hal yang diungkapkan oleh Coelho tersebut adalah representasi dari budaya Prancis yang bebas. Penceritaan tentang gaya hidup bebas ini buknlah hal yang tabu di Eropa. Hal ini dikarenakan praktek seperti itu telah menjadi banyak ditemui pada masyarakat Eropa. Ketika suatu hal telah dilakukan oleh orang banyak, maka hal tersebut akan dipandang sebagai hal yang biasa atau alamai.
Seorang bijak dari Cina pernah berkata, “Orang Asia belajar mencari uang dari orang Eropa, tapi orang Eropa belajar menjalani hidup dari orang Asia,” saya rasa perkataan ini memang cocok dengan masalah tersebut. Walaupun saya menilai budaya Eropa dengan nilai budaya Asia, namun aktivitas tidur dengan orang lain yang belum diikat oleh pernikahan tidak dapat diterima secara umum. Sebagai contoh, munculnya keretakan dalam rumah tangga lebih banyak disebabakan oleh perselingkuhan. Hal ini dikarenakan sifat dasar manusia (secara universal) ingin menguasai dan mengendalikan apa yang ia miliki, tidak terkecuali pasangan.
Selain itu, masalah budaya yang terdapat dalam novel Zahir adalah gaya hidup sekelompok pemuda di kota Paris yang mirip dengan gaya hidup kelompok hippie yang muncul pada tahun 1960-an. Sekelompok pemuda ini berpenampilan layaknya gelandangan. “...beginilah anak-anak muda sekarang berdandan, dekil tapi sangat imajinatif...” (Coelho, 2014:322). Idelogi mereka adalah “...orang yang menjalani hidup mereka setiap hari seakan-akan hari itu hari terakhir dalam hidup mereka...” (Coelho, 2014:322). Cara pandang seperti ini adalah akibat dari pola hidup orang Eropa khususnya Paris yang individual. Pola hidup individual memberikan dampak pada banyaknya individu yang merasa terasing atau sendirian.
Menurut Horney dalam dalam Feist dan Feist (2010:196) perasaan sendirian di dunia yang tidak ramah ini akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan kasih sayang (needs of affection), yang pada akhirnya membuat orang menilai cinta terlalu tinggi. Hal ini;ah yang menyebabkan sekelompok pemuda itu membentuk komuntias untuk lebih menikmati kehidupan seakan-akan hari itu adalah hari terakhir mereka. Individu dalam kelompok itu saling berbagi apa yang mereka, sehingga mereka merasa memiliki ikatan antara satu sama lain. Selain masalah gaya hidup dalam novel Zahir juga membahas masalah budaya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.
Novel Zahir menggambarkan secara jelas tentang kebudayaan orang Eropa yaitu Prancis. Novel ini menggambarkan bagaimana mudahnya seorang yang telah menikah dapat tidur dengan orang lain yang bukan istrinya, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut “Anda tidur dengan orang lain hanya karena hari yang membosankan? ...wanita itu sedang mencari suatu yang menggairahkan, aku sedang mencari petualangan, dan terjadilah. Esok harinya, kami bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa...” (Coelho, 2014:18).
Novel adalah hasil tiruan realita kehidupan. Hal yang diungkapkan oleh Coelho tersebut adalah representasi dari budaya Prancis yang bebas. Penceritaan tentang gaya hidup bebas ini buknlah hal yang tabu di Eropa. Hal ini dikarenakan praktek seperti itu telah menjadi banyak ditemui pada masyarakat Eropa. Ketika suatu hal telah dilakukan oleh orang banyak, maka hal tersebut akan dipandang sebagai hal yang biasa atau alamai.
Seorang bijak dari Cina pernah berkata, “Orang Asia belajar mencari uang dari orang Eropa, tapi orang Eropa belajar menjalani hidup dari orang Asia,” saya rasa perkataan ini memang cocok dengan masalah tersebut. Walaupun saya menilai budaya Eropa dengan nilai budaya Asia, namun aktivitas tidur dengan orang lain yang belum diikat oleh pernikahan tidak dapat diterima secara umum. Sebagai contoh, munculnya keretakan dalam rumah tangga lebih banyak disebabakan oleh perselingkuhan. Hal ini dikarenakan sifat dasar manusia (secara universal) ingin menguasai dan mengendalikan apa yang ia miliki, tidak terkecuali pasangan.
Selain itu, masalah budaya yang terdapat dalam novel Zahir adalah gaya hidup sekelompok pemuda di kota Paris yang mirip dengan gaya hidup kelompok hippie yang muncul pada tahun 1960-an. Sekelompok pemuda ini berpenampilan layaknya gelandangan. “...beginilah anak-anak muda sekarang berdandan, dekil tapi sangat imajinatif...” (Coelho, 2014:322). Idelogi mereka adalah “...orang yang menjalani hidup mereka setiap hari seakan-akan hari itu hari terakhir dalam hidup mereka...” (Coelho, 2014:322). Cara pandang seperti ini adalah akibat dari pola hidup orang Eropa khususnya Paris yang individual. Pola hidup individual memberikan dampak pada banyaknya individu yang merasa terasing atau sendirian.
Menurut Horney dalam dalam Feist dan Feist (2010:196) perasaan sendirian di dunia yang tidak ramah ini akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan kasih sayang (needs of affection), yang pada akhirnya membuat orang menilai cinta terlalu tinggi. Hal ini;ah yang menyebabkan sekelompok pemuda itu membentuk komuntias untuk lebih menikmati kehidupan seakan-akan hari itu adalah hari terakhir mereka. Individu dalam kelompok itu saling berbagi apa yang mereka, sehingga mereka merasa memiliki ikatan antara satu sama lain. Selain masalah gaya hidup dalam novel Zahir juga membahas masalah budaya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.
Sistem Kepercayaan
Novel Zahir seperti novel-novel Paulo lainnya membahas hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Kali kini pada novel Zahir ia mengangkat kepercayaan pada hal msitik. Seperti dalam kutipan berikut: “...waktu berangkat ke sekolah, aku melihat lagi gadis itu melayang-layang di udara...” (Coelho, 2014:243). “Gadis itu tidak menggerakkan bibirnya, tapi aku tahu dia bicara padaku...” (Coelho, 2014:245). Masalah yang berkaitan dengan sistem kepercayaan selalu menarik perhatian “dari waktu ke waktu sepanjang abad ini telah timbul apa yang dinamakan ‘kebangkitan kembali spiritualitas’, yang gagasannya adalah bahwa seorang medium dapat berhubungan dengan orang yang sudah meninggal” (Gaarder, 2013:127).
Selanjutnya, sistem kepercayaan adalah bagaian dari unsur-unsur kebudayaan. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, tentunya sistem kepercayaan juga mengandung tiga wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2009:150) kebudayaan terdiri dari tiga wujud, yaitu, ide, aktivitas, dan benda. Ide dari sistem kepercayaan yang terdapat dalam novel ini adalah menemukan jati diri “setelah menembus lapisan itu, kita akan bisa menemukan diri kita sendiri” (Coelho, 2014:174). Aktivitas yang dilakukan adalah bercerita tentang cinta “seperti yang biasa kita lakukan setiap hari Kamis, kita mendengar kisah cinta dan menceritakan kisah tiadanya cinta” (Coelho, 2014:174). Sementara itu benda yang digunakan dalam upacar tersebut adalah alat musik dan kostum berwarna putih “...dua pemain musik dengan pakaian oriental dan keempat anak muda dengan baju dan gaun putih panjang putih...” (Coelho, 2014:170).
Pokok bahasan tentang hal mistik selalu menarik perhatian sebab hal mistik sampai saat ini masih merupakan misteri. Sifat dasar manusia adalah tertarik pada hal-hal yang belum dapat dijelaskan dan hal-hal yang bersifat rahasia. Oleh sebab itu, novel-novel karya Paulo selalu menjadi incaran pembaca. Hakikat hidup, sistem kepercayaan dan cinta adalah tiga hal yang penuh dengan misteri, belum dapat dijelaskan dan bersifat rahasia. Sehingga banyak orang yang ingin mengetahui lebih dalam tentang ketiga hal tersebut.
Novel Zahir seperti novel-novel Paulo lainnya membahas hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Kali kini pada novel Zahir ia mengangkat kepercayaan pada hal msitik. Seperti dalam kutipan berikut: “...waktu berangkat ke sekolah, aku melihat lagi gadis itu melayang-layang di udara...” (Coelho, 2014:243). “Gadis itu tidak menggerakkan bibirnya, tapi aku tahu dia bicara padaku...” (Coelho, 2014:245). Masalah yang berkaitan dengan sistem kepercayaan selalu menarik perhatian “dari waktu ke waktu sepanjang abad ini telah timbul apa yang dinamakan ‘kebangkitan kembali spiritualitas’, yang gagasannya adalah bahwa seorang medium dapat berhubungan dengan orang yang sudah meninggal” (Gaarder, 2013:127).
Selanjutnya, sistem kepercayaan adalah bagaian dari unsur-unsur kebudayaan. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, tentunya sistem kepercayaan juga mengandung tiga wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2009:150) kebudayaan terdiri dari tiga wujud, yaitu, ide, aktivitas, dan benda. Ide dari sistem kepercayaan yang terdapat dalam novel ini adalah menemukan jati diri “setelah menembus lapisan itu, kita akan bisa menemukan diri kita sendiri” (Coelho, 2014:174). Aktivitas yang dilakukan adalah bercerita tentang cinta “seperti yang biasa kita lakukan setiap hari Kamis, kita mendengar kisah cinta dan menceritakan kisah tiadanya cinta” (Coelho, 2014:174). Sementara itu benda yang digunakan dalam upacar tersebut adalah alat musik dan kostum berwarna putih “...dua pemain musik dengan pakaian oriental dan keempat anak muda dengan baju dan gaun putih panjang putih...” (Coelho, 2014:170).
Pokok bahasan tentang hal mistik selalu menarik perhatian sebab hal mistik sampai saat ini masih merupakan misteri. Sifat dasar manusia adalah tertarik pada hal-hal yang belum dapat dijelaskan dan hal-hal yang bersifat rahasia. Oleh sebab itu, novel-novel karya Paulo selalu menjadi incaran pembaca. Hakikat hidup, sistem kepercayaan dan cinta adalah tiga hal yang penuh dengan misteri, belum dapat dijelaskan dan bersifat rahasia. Sehingga banyak orang yang ingin mengetahui lebih dalam tentang ketiga hal tersebut.
Gender/Feminisme
Novel
Zahir menggambarkan dua tokoh
perempuan. Kedua tokoh tersebut adalah Esther dan Marie. Esther digambarkan
sebagai tokoh yang memiliki pendirian yang kuat. Esther dapat memutuskan
berbagai perkara sulit yang menimpa dirinya. Salah satu keputusan penting yang
ia buat adalah menjadi wartawan perang “Aku ingin jadi wartawan perang”
(Coelho, 2014:58). Ketika ditanya alasannya ia menjawab “Aku memiliki
segalanya, tapi aku tak bahagia” (Coelho, 2014:59). Pola pikir Esther dapat
dikategorikan dalam pola pikir feminis liberal.
Feminisme libreal adalah feminisme yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan (Fakih dalam Sofia, 2009:14). Bagi feminsime liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal. Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu (Arviva dalam Sofia, 2009:14). Esther telah memiliki segalanya, suami yang mencukupi kebutuhan ekonominya, kehidupan yang mapan. Namun, ia masih mencari sesuatu yang menurutnya ada yang kurang. Ia berani mengambil keputusan meninggalkan suaminya untuk mencari hal yang menurut dia lebih penting daripada suaminya.
Pola pikir feminis liberal lainnya dalam novel ini adalah “kau pikir aku tidak pernah tidur dengan laki-laki lain selama kita hidup bersama?”, kemudian pertanyaan ini dijawab oleh suami esther dengan “aku tak peduli dan tidak ingin tahu” (Coelho, 2014:58). Tokoh Aku dan Esther mengutmakan kebebasan individu walaupun mereka telah menikah, mereka dapat tidur dengan orang lain. Menurut mereka, tidur dengan orang lain bukanlah hal yang dapat merusak janji pernikahan.
Selain itu, berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat pula praktik kesetaraan gender. Suami dari Esther tidak melarang Esther untuk menjadi wartawan perang, walaupun pada awlnya ia kaget dengan keputusan Esther “kau sinting. Kau tidak perlu melakukan itu” (Coelho, 2014:58). Selanjutnya ia hanya menanyakan alasan mengapa Esther ingin menjadi wartawan perang “jadi, kenapa kau ingin meliput perang di bagian dunia yang kacau itu?” (Coelho, 2014:59).
Selanjutnya, dalam novel ini tokoh Marie adalah tokoh yang terhegemoni oleh tokoh Aku. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. (1) Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan (2) cara persuasi (Kurniawan, 2007). Kekuasaan yang terjadi pada tokoh Marie adalah kekuasaan dengan cara persuasi, di mana cara persuasi ini berbentuk kekuasaaan simbolik yaitu kemampuan menggunakan bentuk-bentuk simbolik untuk memengaruhi jalannya aksi atau peristiwa (kecantikan, kekayaan, mobil atau gaya hidup).
Marie seorang aktris Prancis berusia 35 tahun, tidak dapat melepaskan diri dari karisma tokoh Aku. Secara fisik tentu mudah bagi Marie untuk mendapatkan pria lain yang jauh lebih baik dibandingkan tokoh Aku, tetapi ia tidak dapat melepaskannya. Bentuk bahwa ia telah terhegemoni oleh tokoh Aku adalah “aku harus tampil di TV Korea, tapi bisa kutunda, atau bahkan kubatalkan sama sekali kalau kau ingin kutemani (Coelho, 2014:226). “tapi aku sedih, sebab aku jadi berpikir bahwa sebentar lagi kau akan pergi. Aku tahu kua akan pergi sejak pertama kita bertemu, tapi tetap saja itu tak mudah bagiku, karena aku sudah terbiasa denganmu” (Coelho, 2014:290).
Kata-kata yang diucapkan oleh Marie adalah ungkapan perasaannya terhadap tokoh Aku. Marie tidak dapat melepaskan diri dari tokoh Aku, sebab Marie telah dikuasi (terhegemoni) oleh perasaannya terhadap tokoh Aku. Perasaan itu adalah rasa cinta Marie terhadap tokoh aku. Seperti yang dikatakan oleh Marie “menurutku cinta dan ketergantungan saling bergandengan” (Coelho, 2014:290). Ya, cinta adalah salah satu hal yang membuat orang rela dikuasai tanpa merasa terbebani. Orang yang dilanda cinta dengan senang hati dikuasai oleh cinta, entah dalam bentuk rupa yang menawan, pribadi yang menarik, atau harta yang melimpah. Pada akhirnya seperti “kata-kata seorang bijak Persia: Cinta adalah penyakit yang tak seorang pun ingin bebas darinya. Mereka yang tertular tak ingin sembuh, dan mereka yang menderita tak ingin diobati” (Coelho, 2014:290). Pada suatu saat kita merasa bosan pada seseorang yang kita cintai, namun ada sesuatu yang membuat kita ingin terus bersamanya. Begitu pula dengan buku ini, kadang saya merasa bosan untuk membacanya, namun ada sesuatu yang membuat saya ingin terus membacanya.
Feminisme libreal adalah feminisme yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan (Fakih dalam Sofia, 2009:14). Bagi feminsime liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal. Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu (Arviva dalam Sofia, 2009:14). Esther telah memiliki segalanya, suami yang mencukupi kebutuhan ekonominya, kehidupan yang mapan. Namun, ia masih mencari sesuatu yang menurutnya ada yang kurang. Ia berani mengambil keputusan meninggalkan suaminya untuk mencari hal yang menurut dia lebih penting daripada suaminya.
Pola pikir feminis liberal lainnya dalam novel ini adalah “kau pikir aku tidak pernah tidur dengan laki-laki lain selama kita hidup bersama?”, kemudian pertanyaan ini dijawab oleh suami esther dengan “aku tak peduli dan tidak ingin tahu” (Coelho, 2014:58). Tokoh Aku dan Esther mengutmakan kebebasan individu walaupun mereka telah menikah, mereka dapat tidur dengan orang lain. Menurut mereka, tidur dengan orang lain bukanlah hal yang dapat merusak janji pernikahan.
Selain itu, berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat pula praktik kesetaraan gender. Suami dari Esther tidak melarang Esther untuk menjadi wartawan perang, walaupun pada awlnya ia kaget dengan keputusan Esther “kau sinting. Kau tidak perlu melakukan itu” (Coelho, 2014:58). Selanjutnya ia hanya menanyakan alasan mengapa Esther ingin menjadi wartawan perang “jadi, kenapa kau ingin meliput perang di bagian dunia yang kacau itu?” (Coelho, 2014:59).
Selanjutnya, dalam novel ini tokoh Marie adalah tokoh yang terhegemoni oleh tokoh Aku. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. (1) Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan (2) cara persuasi (Kurniawan, 2007). Kekuasaan yang terjadi pada tokoh Marie adalah kekuasaan dengan cara persuasi, di mana cara persuasi ini berbentuk kekuasaaan simbolik yaitu kemampuan menggunakan bentuk-bentuk simbolik untuk memengaruhi jalannya aksi atau peristiwa (kecantikan, kekayaan, mobil atau gaya hidup).
Marie seorang aktris Prancis berusia 35 tahun, tidak dapat melepaskan diri dari karisma tokoh Aku. Secara fisik tentu mudah bagi Marie untuk mendapatkan pria lain yang jauh lebih baik dibandingkan tokoh Aku, tetapi ia tidak dapat melepaskannya. Bentuk bahwa ia telah terhegemoni oleh tokoh Aku adalah “aku harus tampil di TV Korea, tapi bisa kutunda, atau bahkan kubatalkan sama sekali kalau kau ingin kutemani (Coelho, 2014:226). “tapi aku sedih, sebab aku jadi berpikir bahwa sebentar lagi kau akan pergi. Aku tahu kua akan pergi sejak pertama kita bertemu, tapi tetap saja itu tak mudah bagiku, karena aku sudah terbiasa denganmu” (Coelho, 2014:290).
Kata-kata yang diucapkan oleh Marie adalah ungkapan perasaannya terhadap tokoh Aku. Marie tidak dapat melepaskan diri dari tokoh Aku, sebab Marie telah dikuasi (terhegemoni) oleh perasaannya terhadap tokoh Aku. Perasaan itu adalah rasa cinta Marie terhadap tokoh aku. Seperti yang dikatakan oleh Marie “menurutku cinta dan ketergantungan saling bergandengan” (Coelho, 2014:290). Ya, cinta adalah salah satu hal yang membuat orang rela dikuasai tanpa merasa terbebani. Orang yang dilanda cinta dengan senang hati dikuasai oleh cinta, entah dalam bentuk rupa yang menawan, pribadi yang menarik, atau harta yang melimpah. Pada akhirnya seperti “kata-kata seorang bijak Persia: Cinta adalah penyakit yang tak seorang pun ingin bebas darinya. Mereka yang tertular tak ingin sembuh, dan mereka yang menderita tak ingin diobati” (Coelho, 2014:290). Pada suatu saat kita merasa bosan pada seseorang yang kita cintai, namun ada sesuatu yang membuat kita ingin terus bersamanya. Begitu pula dengan buku ini, kadang saya merasa bosan untuk membacanya, namun ada sesuatu yang membuat saya ingin terus membacanya.
Daftar Pustaka
Coelho,
Paulo. 2014. Zahir. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Feist, Jess dan Feist. 2010. Teori Kepribadian, Edisi 7 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Gaarder,
Josetin. 2013. Dunia Sophie: Sebuah Novel
Filsafat. Bandung: Mizan
Kurniawan,
Heru. 2007. “Relasi Formatif Hegemoni Gramsci dalam Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer”.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sofia, Adib. 2009. Kritik
Sastra Feminis “Perempuan dalam
Karya-Karya Kuntowijoyo”.
Yogyakarta: Citra Pustaka.
Posting Komentar untuk "SEBUAH KRITIK NOVEL ZAHIR KARYA PAULO COELHO METODE GANZHEIT"