KRITIK SASTRA KONTEMPORER: MEMAHAMI FUNGSI KRITIK SASTRA DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Sastra adalah proses kreatif pengarang dari hasil kontemplasi tentang apa yang dia rasa atau alami kemudian diolah dengan menggunakan bahasa (kata) sebagai media. Walaupun sebagai hasil akhir dari proses kreatif dengan berkontemplasi, sastra setelah menjadi sebuah karya, akan menjadi hal baru yang akan terus dibarui dengan cara apresiasi. Apresiasi sastra adalah salah satu ekspresi penikmat sastra terhadap karya yang mereka baca. Apresiasi adalah tanggapan seseorang, tentang apa yang mereka rasakan setelah membaca karya sastra. Apresiasi inilah yang menentukan sebuah karya sastra bernilai atau tidak. Semakin banyak apresiasi tenttang sebuah karya, maka semakin bernilai karya tersebut.

Apresiasi memiliki berbagai macam bentuk, salah satunya adalah dengan mengkritik sebuah karya sastra. Istilah apresiaisi dengan cara mengkritik, lebih dikenal dengan kritik sastra. Kritik sastra awalnya dimulai sekitar tahun 500 sebelum masehi, dilakukan oleh seorang Yunani bernama Xenophanes dan Heraclitus, yaitu ketika mereka mengecam keras pujangga besar Homerus yang gemar mengisahkan cerita-cerita tidak senonoh serta bohong tentang dewa-dewi (Yudiono, 1986:18). Kritik sastra yang dilakuk oleh Xenophanes dan Heraclitus ini adalah bentuk kritik sastra yang sederhana. Seiring berjalannya waktu, kritik sastra terus berkembang.

Kritik sastra yang dikenal atau diterapkan saat ini adalah kerja ilmiah dalam mengapresiasi sebuah karya sastra dengan menggunakan metode dan teori tertentu. Kritik sastra modern di Indonesia dimulai pada abad ke 19. Para ktirikus pada masa itu diantaranya adlah H.B. Jassin, Umar Junus, Arief Budiman, A. Teeuw, Korrie Layun Rampan, M.S. Hutagalung, dan kawan-kawan. Krtik sastra pada abad ke 19 dituangkan dalam bentuk buku. Kritik sastra berguna bukan hanya untuk pembaca, namun juga bagi pengarang. Walaupun kritik sastra adalah pendapat pribadi yang subjektif, namun seorang pengkritik tetap menggunakan metode ilmiah, sehingga pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan.

Kritik sastra memiliki peran yang penting bagi perkembangan sastra Indonesia. Karena salah satu fungsi kritik sastra menurut Pradopo adalah untuk perkembangan kesusatraan itu sendiri. Kritik sastra yang baik biasanya berisi kritik dan saran, tidak hanya tentang kekurangan sebuah karya sastra, tetapi juga berisi kelebihan karya tersebut. Karena setiap karya sastra pasti memiliki dua sisi, yaitu baik dan buruk. Selain itu, jika hanya berisi kekurangan, maka hal tersebut berarti tidak menghargai hasil kerja dan dapat mematikan semangat pengarang. Sebaliknya, jika hanya berisi kelebihan atau pujian, maka hal tersebut tidak dapat membantu pengarang untuk mencipta karya yang lebih baik lagi.

1.2.       Rumusan Masalah
1.        Apakah yang dimaksud dengan kritik sastra?
2.        Apa sajakah fungsi kritik sastra?
3.        Bagaimanakah fungsi kritik sastra dalam perkembangan sastra Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Pengertian Kritik Sastra
Kegiatan mengapresiasi karya sastra telah dimulai sejak beberapa abad yang lalu, walaupun bentuknya sangat sederhana. Pada awalnya apresiasi sastra dengan cara kritik hanya berlangsung dengan cara mengomentari sebuah karya sastra. Wellek (dalam Yudiono, 1986:19) menyatakan bahwa pengertian kritik sastra berasal dari kata krites yang dalam bahasa Yunani kuno berarti hakim, karena berasal dari kata krinein yang berarti menghakimi kata kritikos yang berarti hakim karya sastra muncul pada abad IV sebelum masehi, ketika seorang bernama Philatos dari Pulau Kos diundang untuk menjadi guru Raja Ptolomy II di Alexandria. Tetapi pada abad ke II sesudah masehi istilah krtitikos lenyap dari perbendaharaan kata zaman itu.

Dalam sastra Latin Klasik istilah criticus  jarang dipergunakan, teteapi terdapat dalam surat-surat Herion kepada Longinus. Dalam hal ini istilah criticus diartikan lebih tinggi daripada grammatikus dengan penjelasan bahwa istilah criticus juga berarti penasiran naskah dan kata-kata. Pengertian criticus atau kritikos sebagai literary criticism dalam arti khazanah sastra Inggris muncul karen jasa ahli retorika Quintilian dan filsuf Aristoteles. Pada zaman Renanissance arti kata tersebut kembali pada pengertian lama, dan seorang bernama Poliziano pada tahun 1492 mempergunakan istilah tersebut untuk memdekannya dengan para filsuf. Pada waktu itu istilah crriticus, garmmatikus dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yang menekuni pustaka sastra lama (Yudiono, 1986:19).

Istilah kritik sastra telah banyak diartikan oleh para ahli, berikut adalah pengertian kritik sastra dari beberapa ahli. Rene Wellek mengungkapkan pengertian krtik sastra dengan penjelasan yang sederhana dan umum. Menurut Rene Wellek dalam Yudiono (1986:20) kritik sastra berarti pembicaraan tentang karya sastra tertentu. Abrams dalam Yudiono (1986:20) menerangkan, bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya-karya sastra. Dalam hal ini, Abrams menjelaskan pengertian kritik sastra secara spesifik dan lengkap dibanding Rene Wellek. Selanjutnya Rachmat Djoko Pardopo dan H.B Jasiin memiliki pendapat yang serupa. Pardopo dalam Yudiono (1986:20) menyebutkan, bahwa kritik sastra ialah pertimbangan baik buruk karya sastra. Selanjutnya Jasiin dalam Yudiono (1986:20) menyatakan, bahwa kritik kesusastraan ialah pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.

Pengertian istilah kritik sastra yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut memiliki persamaan. Persamaan tersebut adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan karya sastra/hasil kesusastraan. Jika dilihat dari beberapa pengertian tersebut, maka pengertian istilah kritik sastra adalah suatu kegiatan yang merumuskan, mengklasifikasikan, memberikan penerarngan dan penilaian terhadap karya sastra, sehingga dapat menyimpulkan baik atau buruknya sebuah karya sastra.

2.2.  Sifat dan Fungsi Kritik Sastra
Kritik sastra adalah sebuah karya yang bersifat nonfiksi. Karena sebuah kritik sastra adalah penilaian terhadap karaya sastra tertentu berdasarkan pendapat krtikus, selain itu, sebuha kritik sastra juga menggunakan metode ilmiah. Menurut Effendi (dalam Yudiono, 1986:23) kritik sastra bukan ilmu, dan bukan pula seni. Kritik sastra memiliki dunia sendiri dan lebih cenderung termasuk nonciptasastra. Sementara itu J.U. Nasution (dalam Yudiono, 1986:23) menyatakan, bahwa kritik sastra sebagai bagian ilmu sastra, jika dimaksudkan dengan ilmu ialah adanya pemecahan masalah sesuai tuntutan ilmu itu sendiri. Berdasakan pendapat Nasution, kritik sastra adalah bagian dari ilmu, karena untuk mengkritik sebuah karya sastra diperlukan teori dan metode tertentu.

Yudiono (1986:24) yang menyitir tulisan Shipley mengatakan bahwa dari satu sisi tampaklah kritik sastra merupakan karya ilmiah, tetapi dari sisi lain tampak pula kritik sastra merupakan karya seni. Sebagai karya ilmiah, kritik sastra memerlukan pengujian, pengamatan kekurangan dan kelebihannya, dan membutuhkan penerapan dan prinsip-prinsip umum. Sebagai karya seni, kritik sastra termasuk produksi atau hasil karya yang membangkitkan kegiatan atau semangat. Andre Hardjana (dalam Yudiono, 1986:24) mengemukakan aspek seni kritik sastra tampak pada pendekatannya terhadap obyek. Dengan pendekatan tertentu seorang kritikus mengalami penghayatan keindahan yang subyektif. Dalam kritik sastra, krtitikus memaparkan pengalamannya menghayati suatu keindahan, tetapi tidaklah menciptakan keindahan itu sendiri.

Kritikus yang baik dalam mencari, menunjukkan, dan menentukan nilai, baik dengan analisa maupun perbandingan secara teoritis tidak berbeda jauh dari poetika pengarang, sehingga sastra dan kritik sastra tidak saling bertentangan. Kritikus berusaha secara objektif menjelaskan nilai karya sastra yang telah dihayati dan dipahaminya. Dalam hal ini kritikus memanfaatkan kaidah-kaidah poetika pengarang, dan sekaligus memanfaatkan kaidah-kaidah nonfiksi, sehingga kritik sastranya bukan suatu karya seni (Yudiono, 1986:24).

Jika dilihat dari pengertiannya, maka fungsi kritik sastra adalah memberikan penilaian atas baik atau buruknya suatu karya sastra (Yudiono 1986:24). Fungsi kritik sastra dalam hal ini adalah fungsi umum yang berdasar pada sebuah pengertian istilah kritik sastra. Yudiono (1986:24) mengemukakan bahwa penilaian yang dilaksanakan berdasarkan hal-hal tertentu tidak hanya bermanfaat bagi kritikus, tetapi juga berguna bagi karya sastra atau pengarang itu sendiri. Apabila sebuah kritik sastra dipublikasikan lewat media massa, maka kritik sastra itu bermanfaat juga bagi peminat sastra, karena mendapatkan semacam panduan dalam ikut memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kritik sastra berfungsi mendidik pembaca untuk menghargai karya sastra yang bernilai.

Kritik sastra bermanfaat bagi pengarang karena kritik sastra memberikan penilaian, sehingga pengarang mendapatkan masukan mengenai mutu karyanya, dan mengetahui sejauh manakah karyanya itu bermanfaat bagi masyrakat pembaca (Yudiono, 1986:26). Kritik sastra berfungsi sebagai perantara yang berada di antara pencipta dan pembaca, karena kririk sastra memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul dalam diri pembaca setelah menikmati suatu karya sastra (Jasiin dalam Yudiono, 1986:26).

Sementara itu Andre Hardjana (dalam Yudiono, 1986:26) menyatakan bahwa fungsi kritik sastra, ialah memelihara dan meyelamatkan pengalaman manusiawi serta menjalinkannya menjadi suatu proses perkembangan susunan-susunan atau struktur yang bermakna. Dan fungsi itu sangat diperlukan secara lebih mendesak untuk mengukuhkan nilai-nilai manusiawi dan dasar-dasar masyarakat berbudaya. Yudiono (1986:26) menyatakan bahwa, dalam hubungannya dengan cabang-cabang ilmu sastra; teori dan sejarah sastra, maka kritik sastra berfungsi sebagai pendukung keduanya. Hasil kritik sastra memberikan bahan-bahan untuk penyusunan teori sastra. Kritik sastra juga memberikan bahan-bahan untuk penyusunan sejarah sastra.

Apabila dirumuskan, maka fungsi kritik sastra adaalah sebagai berikut Yudiono (1986:27):
1)   Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah sastra.
2)   Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau pengembagan teori sastra.
3)   Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau pengembagan sejarah sastra.
4)   Memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan yang tidak  baik, yang asli dan yang tidak asli.
5)   Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya.

Konsep tentang kritik sastra berhubungan dengan penilaian, penjelasan, dan penghakiman karya sastra. Penilaian hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki konsep tentang nilai: baik atau buruk, indah dan tidak indah. Penjelasan tentang suatu karya sastra hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mengetahui seluk beluk karya sastra. Dan penghakiman terhadap karya sastra hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mampu memanfaatkan berbagai pengetahuannya tentang nilai dan seluk-beluk karya sastra untuk menempatkan kedudukan suatu karya di tengah sekian banyak karya sejenis (Yudiono 1986:25).
2.3.  Fungsi Kritik Sastra dalam Perkembangan Sastra Indonesia
2.3.1. Kritik Sastra Indonesia
Dibandingkan dengan sejarah kritik sastra Inggris yang sudah berlangsung sejak abad ke 17 dengan pelopornya John Dryden sebagai father of English crticism. Kritik sastra Indonesia baru lahir pada awal abad ke 20, sejalan dengan lahirnya sastra Indonesia. Sejarah kritik sastra Indonesia dimulai sejak munculnya tulisan yang termasuk jenis kritik sastra untuk pertama kali. Dalam pengertian itu dapat dimasukkan karangan atau tulisan-tulisan pendek yang lazim disebut: resensi, tinjauan, timbangan, atau ulasan (Yudiono, 1986:36).

Kritik sastra Indonesia dimulai sejak terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933. Pelopor atau perintis kritik sastra Indonesia adalah Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, dua di antara beberapa orang pendiri majalah tersebut (Yudiono, 1986:36). Tahun ini adalah tahun di mana kritik sastra telah mulai dimuat di media massa, sehingga masyarakat lebih mengenal karya sastra dari berbagai pengarang pada masa itu, serta kelebihan dan kekurangan masing-masing karya sastra.

Pardopo dalam Yudiono (1986:37) berpendapat bahwa dalam kritik sastra Indonesia masih banyak soal-soal yang harus diselesaikan, di antaranya menyangkut: (1) belum adanya kritik sastra yang tersusun secara lengkap; (2) peninjauannya belum sempurna, belum menurut lapis-lapis norma karya sastra; (3) belum adanya metode kritik sastra yang mapan; (4) belum mapannya teori penilaian; dan (5) kurangnya penerbitan. Sementara itu Andre Hardjana dalam Yudiono (1986:37) berpendapat bahwa pengertian kritik sastra itu sendiri telah tumbuh dan berkembang serta menjadi kokoh dengan terbitnya beberapa buku kritik sastra, dan munculnya banyak artikel sejenis kritik dalam surat kabar dan majalah. Menurut Hutagalaung (dalam Yudiono, 1986:37) situasi kritik sastra Indonesia jauh lebih baik daripada kritik di bidang seni lainnya.

Yudiono (1986:40) merumuskan pola kritik sastra Indonesia ke dalam dua bentuk: (1) kritik sastra Indonesia sebaiknya tidak bertolak dari teori atau konsep atau ukuran normatif; dan (2) kritik sastra Indonesia hendaknya bertolak dari suatu teori, meskipun tidak diterapkan secara ketat dan melalui metode tertentu berupaya mendapatkan nilai sastra yang sesuai dengan hakikat dan fungsi sastra, sehingga penilainnya dapat dikatakan objketif. Kritik sastra tidak harus ditulis oleh sarjana sastra yang telah menyerap ilmu atau teori sastra secara formal. Pada prinsipnya setiap penikmat sastra berhak  menulis kritik sastra.

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui mutu sebuah kritik sastra (Yudiono, 1986:41).
1) Apakah kritikus memiliki latar belakang teori sastra dan dapat merumuskan konsep-konsepnya secara jelas dan mapan?
2)  Apakah krtitikus itu mempergunakan metode tertentu untuk menikmati, memahami, dan menilai sastra sesuai dengan pendekatan sastranya?
3) Apakah motivasi penulisan kritik itu? Ditulis untuk sebuah seminar, tesis kesarjanaan, ataukah mungkin pesanan sebuah penerbit?
4) Apakah media penerbitannya? Surat kabar, majalah umum, majalah sastra, atau buku?
5)  Siapakah sasarannya? Para pengarang, peminat sastra, mahasiswa, atau sarjana sastra?

Selanjutnya Yudiono (1986:41) menyatakan bahwa mutu kritik sastra tidak dapat diukur hanya latar belakang teori sastra yang dimiliki kritikus, atau ketepatannya memanfaatkan metode tertentu, sebab ada faktor lain yang ikut berperan sebagai variabel, yaitu pembaca. Adapun Saleh Sa’ad (dalam Yudiono, 1986:42) membagi pembaca menjadi dua golongan besar, yaitu 1) pembaca awam yang menghargai karya sastra dalam apresiasi mereka yang sederhana. 2) Pembaca terdidik yang dapat menghargai dan menilai karya sastra.

Kritik sastra yang baik harus mencerminkan luasnya wawasan teori sastra kritikus yang bersangkutan, harus menampakkan (baik secara implisit maupun eksplisit) metode tertentu dan sekaligus memperhatikan kemampuan kritikus sewaktu menyajikan tulisan yang baik. Menurut Slamet Soeseno (dalam Yudiono, 1986:43) bahwa kriteria tulisan ilmiah populer yang baik menyangkut:
1)        Kebenaran objektif yang didukukung informasi yang sudah teruji kebenarannya;
2)        Metode untuk mengaji perkara, fakta atau gejala secara eksak;
3)        Satuan bahasa yang mencerminkan masyarakat berbudaya.

Tidak semua teori yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat tumbuh dan berkembang dengan mantap menjadi aliran-aliran dalam kritik sastra Indonesia. Menurut Yudiono (1986:43) dalam kritik sastra Indonesia baru muncul tiga aliran, yaitu sebagai berikut.
1)     Kritik Sastra Lekra yang berkembang pada kurun 1959-1965.
2)     Kritik Sastra Rawamangun, dan
3)     Kritik Sastra Ganzheit yang populer sekitar tahun 1968.

Menurut Semi (1989:24) fungsi atau kegunaan kritik sastra adalah sebagai berikut.
1)        Untuk pembinaan dan pengembangan sastra.
Fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan, serta mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud sebagai karya seni yang bernama sastra. Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan struktur yang bermakna. Fungsi ini jauh lebih penting dari hanya membuat kategori-kategori yang biasa dilakukan, meskipun kategori-kategori itu juga berfaedah.

Melalui kritik sastra, kritikus menunjukkan struktur karya sastra, memberikan peneliaian, menunjukkan segi-segi kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam suatu karya sastra, serta memperlihatkan alternatif lain yang membangun suatu karya sastra.

2)        Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni.
Kritik sastra berfungsi pula untuk membina tradisi kebudayaan, membentuk suatu tempat berpijak cita rasa yang benar, melatih kesadaran, dan secara sadar mengarahkan pembaca kepada pembinaan pengertian tentang makna dan nilai kehidupan. Para kritikus, melalui karya kritiknya berupaya menunjukkan kepada pembaca bahwa para sastrawan melalui karyanya berusaha membuat pembaharuan, karya seni selalu berada dalam ketegangan antara yang lama dan yang baru, antara konvensi dan inovasi.

Di samping itu, para kritikus juga menunjukkan daerah-daerah gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga pembaca dapat meningkatkan kemampuan apresiasi mereka ke tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hal itu dimungkinkan karena kritikus menganalisa struktur sastra, memberi komentar dan interpretasi, menerangkan unsur-unsurnya serta menunjukkan hal-hal yang tersirat dari semua yang tersurat.

3)        Untuk menunjang ilmu sastra
     Kritik sastra berguna pula untuk pembinaan dan pengembangan ilmu sastra (teori sastra). Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa, teknik penceritaan, dan sebagainya. Dengan demikian ia memberi sumbangan besar kepada para ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Tentu tidak dapat dimungkiri pula bahwa para ahli teori sastra memberi sumbangan pula pada para kritikus sastra. Melalui kritik sastra, para kritikus juga membuka daerah baru yang belum dijelajahi oleh pengarang. Dengan demikian, kritiki sastra secara nyata memberi sumbangan pula dalam meningkatkan mutu karya sastrawan.

     Bantuan kritik sastra tidak hanya terbatas pada pembinaan dan pengembangan ilmu sastra, tetapi juga memberi sumbangan pada sejarah sastra. Tidak semua karya sastra dapat dimasukkan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak menunjukkan nilai sastra; sedangkan aktifitas penilaian itu adalah aktifitas kritik sastra. Oleh sebab itu sejarah sastra memerlukan bantuan kritik sastra.

     Tidak semua kritik sastra dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Kritik yang asal mengkritik tidak mempunyai nilai apa-apa bahkan mungkin justru hasilnya bertolak belakang dari tugas dan fungsinya. Menurut Semi (1989:26) agar kritik sastra dapat memenuhi dan menjalankan fungsinya secara baik dituntut beberapa persyaratan antara lain sebagai berikut.
1)   Kritikus dengan karyanya harus berupaya membangun dan menaikkan taraf kehidupan sastra.
2)   Melakukan kritik secra objektif tanpa prasangka, dan dengan jujur dapat mengatakan yang baik itu baik dan yang kurang itu kurang.
3)   Mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekera para sastrawan. Sebab hal itu memberi pengaruh terhadap hasil karyanya.
4)   Dapat menyesuaikan diri dengan lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan memiliki rasa cinta dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap pembinaan kebudayaan dan tata nilai yang benar.
5)   Dapat membimbing pembaca berpikir kritis dan dapat menaikkan kemampuan apresiasi masyarakat terhadap sastra.

Menurut Pradopo (2007:93) guna kririk sastra dapat digolongkan menjadi tiga:
1)   Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra.
2) Untuk perkembangan kesusatraan. Kritik sastra membantu perkembangan kesusatraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Dengan demikian, para sastrawan dapat mengambil manfaat dari kritik sastra, maka mereka dapat memperkembangkan penulisan karya-karya sastra mereka yang kemudian meng-akibatkan perkembangan kesusastraan.
3) Untuk penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Kritik sastra menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra.

2.3.2. Kedudukan Kritik sastra
Berbicara tentang kedudukan kritik sastra berarti membicarakan hubungan kritik sastra dengan karya sastra. Membicarakan karya sastra berarti membicarakan pencipta dan penikmat. Sastra yang sudah diciptakan oleh pengarang belum tentu dapat langsung dinikmati oleh pembacanya karena masih dipersoalkan apakah pembacanya siap untuk membaca karya sastra tersebut dengan modal pengetahuan dan kepekaan estetis, atau kalau membaca sudah mempunyai kesiapan namun masih juga disangsikan apakah karya sastra yang dihadapinya sudah memenuhi persyaratan karya sastra yang baik. Dengan kata lain, bisa terjadi jurang pemisah antara karya sastra dan prnikmatnya. Persoalan ini bermula dari kenyataan bahwa penikmatan bisa terjadi apabila sudah terdapat pengertian. Dan pengertian dapat merupakan masalah apabila pandangan, alam pikiran, visi kepengarangan, dan sikap pengarang jauh berbeda atau sama sekali asing bagi pembacanya. Di samping itu, faktor bahasa yang digunakan pengarang juga dapat menjadi faktor pelancar atau penghambat pemahaman atau pengertian (Semi, 1989:17).

Timbulnya persoalan penikmatan dan pemahaman suatu karya menimbulkan pula pertanyaan, tentang arti dan nilai karya tersebut. Tidak jarang pula pro dan kontra terhadap seorang pengarang dan karya-karyanya, terutama terhadap karya sastra terbaru yang dilihat sebagai penyimpangan dari apa yang dikenal sebelumnya (Semi, 1989:17).

BAB III 
KESIMPULAN
Berdasarkan pendapat Pradopo, kritik sastra  memiliki tiga fungsi utama, yaitu (1) untuk perkembangan ilmu sastra sendiri; (2) untuk perkembangan kesusatraan; (3) untuk penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Ketiga fungsi ini telah mencakup keseluruhan aspek yang terlibat dalam sastra dan kritik sastra. Sastra dan kritik sastra saling memengaruhi, sebuah sastra yang baik, akan mendapatkan banyak perhatian dari para pengkritik sastra. Dengan begitu sebuah karya akan terus hidup. Kemudian sebuah kritik yang baik juga akan menghasilkan sebuah karya sastra yang baik. Karena dengan memperhatikan kritik sastra yang baik, maka seorang pengarang akan melihat kelemahan-kelemahan pada karya sebelumnya, untuk diperbaiki pada karya selanjutnya.

Kritik sastra juga memiliki fungsi sebagai alat penyaring untuk sastra-sastra yang dianggap menyalahi aturan, terutama aturan moral. Tentunya yang digunakan sebagai acuan adalah aturan moral yang universal, karena jika menggunakan aturan moral yang subjektif (individu), maka aturan moral itu tidak dapat digunakan/diakui. Karena sebuah aturan atau hukum adalah sebuah tata laku yang disepakati bersama, ini berarti yang menyepakati sebuah aturan adalah orang banyak, bukan individu.

Daftar Pustaka
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Yudiono, K.S.. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Posting Komentar untuk "KRITIK SASTRA KONTEMPORER: MEMAHAMI FUNGSI KRITIK SASTRA DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA"