KRITIK SASTRA AKADEMIK (PENGERTIAN, CONTOH, DAN TEORI)


A. Pengertian Kritik Sastra Akademik
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada teknik penulisan ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga lembaga bahasa dan sastra (Lestari, 2012). 

Corak dari kritik akademik ditulis dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya ialah pembicaraan tentang analisis yang menarik. Disusun dengan susunan sistematik. Segala atau sebagian besar unsur karya disoroti. Pernyataan disertai dengan argumentasi dan pembuktian serta seringkali menggunakan sandaran pendapat para ahli karya sastra untuk memperkuat argumentasinya (Imam, 2014). 

Kritik ilmiah atau kritik akademik ditulis oleh para ahli sastra yang pada umumnya para sarjana sastra lulusan universitas atau Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dengan teori dan metode ilmiah (Pradopo, 2011:214).

Selanjutnya Pradopo (2011:214) mengemukakan beberapa ciri dari kritik sastra akademik. Ciri-ciri kritik sastra akademik adalah sebagai berikut:
1) Kritikus akademik adalah para ahli sastra alumnus universitas atau IKIP. Mereka bekerja sebagai dosen universitas atau IKIP, para peneliti LIPI, peneliti Pusat Bahasa dan Balai Penelitian Bahasa.
2) Kritik akademik berupa skripsi, tesis, disertasi, makalah ilmiah, pidato ilmiah, dan penelitian ilmiah, yang semuanya itu berupa pembahasan karya sastra yang konkret dengan teori dan metode ilmiah.
3) Kritik akademik menggunakan TPI (Teknik Penulisan Ilmiah) tertentu, biasanya berupa kritik ilmiah mempergunakan atau mengikuti buku petunjuk tertentu, dan penomoran bab-bab, pembuatan catatan, pertunjukkan referensi, sampai dengan penulisan buku, nama pengarang, dan pembuatan daftar pustaka.
4) Kritik akademik mempergunakan sistematika ilmiah, misalnya dalam penyusunan urutan bab dan subbab secara berjenjang.
5) Dalam kritik akademik, teori dan metode sastra yang menjadi dasar kritik (analisis) dinyatakan secara eksplisit, dinyatakan atau diuraikan secara jelas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Budi Darma bahwa organisasi pemikiran, pendapat-pendapat orang sebagai penunjang argumentasi, data-data untuk argumentasi semuanya dieksplisitkan dan dipertanggungjawabkan.
6) Kritik sastra akademik mempergunakan penunjukkan referensi secara akurat: pengarang, nama buku, tahun terbit, penerbitnya, sampai pada halamannya dinyatakan secara tepat.
7) Pada umumnya kritik akademik berorientasi sastra objektif, memusatkan perhatian pada karya sastranya sendiri yang dianalisis struktur dalamnya. Jadi, tipe kritiknya pada umunya kritik objektif. Jika berorientasi mimetik seperti kritik sastra berdasarkan sosiologi sastra, maka syarat-syarat keilmiahan lain dipenuhi.
8) Metode kritik sastra akademik adalah metode deduktif dan induktif.
9) Kritik sastra akademik dicantumkan daftar pustaka yang dipergunakan sebagai sumber penunjukkan pendapat dan teori yang dipergunakan sebagai pertanggungjawaban ilmiah.
10) Kritik sastra akademik mempergunakan bahasa baku, misalnya di Indonesia mempergunakan bahasa Indonesia baku, bahasa yang baik dan benar secara ilmiah.

B. Contoh Kritik Sastra Akademik
Contoh: Kritik Akademik oleh Muh. Rijalul Akbar Ide Pembaharuan Hubungan Agama dengan Tradisi dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral Tinjauan Antropologis.

Penelitian tentang “Ide Pembaharuan Hubungan Agama dengan Tradisi dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral Tinjauan Antropologis” ini berusaha untuk menemukan bentuk-bentuk dari ide pembaharuan hubungan agama dengan tradisi. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk (benda, ide, dan aktivitas) dari hubungan antara agama dan tradisi. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebudayaan (antropologi) yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang lebih dikenal dengan tiga wujud kebudayaan (ide, aktivitas, dan benda).

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan antropologis. Adapun sumber datanya adalah novel yang berjudul Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral. Wujud datanya berupa beberapa kalimat dan kutipan-kutipan dalam novel yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik tekstual (pustaka) dan penganalisisannya menggunakan teknik deskriptif (mendeskripsikan kalimat/kutipan yang berkaitan dengan hubungan antara agama dan tradisi). 

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ide pembaharuan hubungan agama dengan tradisi memiliki berbagai bentuk di antaranya; (1) wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, (2) kompleks aktivitas serta tindakan berpola masyarakat, dan (3) benda-benda hasil karya manusia dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral kurang harmonis ketika ide pembaharuan yang diajarkan oleh Kiai Dahlan menyinggung ide-ide dalam beragama yang telah menjadi tradisi dan budaya dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, sehingga fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat dan penentram jiwa tidak berjalan dengan baik. 

C. Teori Kritik Sastra Akademik
1) Orientasi Objektif
Kritik sastra akademik di Indonesia ditandai dengan dipergunakannya orientasi objektif, yaitu yang memusatkan kritik sastra pada karya sastra sendiri sebagai sesuatu yang otonom. Hal ini seperti dikemukakan oleh M.S. Hutagalung dalam Pradopo (2002:256) bahwa pusat perhatian peneliti sastra adalah karya sastra itu sendiri. Pengarang, latar belakang sosial budaya, dan yang lain-lain itu penting juga untuk memahami karya sastra, tetapi jangan sekali-kali menggeser tempat karya sastra itu sendiri. Disebutnya anggapan demikian ini adalah egosentris. Dikatakannya juga aliran ini disebut strukturalisme. Akan tetapi, Hutagalung sendiri tidak mengemukakan atau merumuskan apa aliran strukturalisme itu, bagaimana wujud, dan bagaimana teorinya.

Dasar pertama kritik sastra akademik/ilmiah adalah orientasi objektif, yaitu perhatian terpusat pada teks sastra itu sendiri. Akan tetapi, pada periode 1976-1988 timbul pula orientasi lain dalam kritik sastra akademik, yaitu orientasi mimetik dengan masuknya teori sastra sosiologi sastra meskipun orientasi objektif tetap dominan dalam kritik sastra akademik. Di samping objektivitas, fakta merupakan faktor (aspek) penting dalam kritik akademik sehingga harus diingat pula bahwa dalam kritik akademik eksplisitasi teori itu penting dan ditonjolkan (Budi Darma dalam Pradopo, 2002:257). Oleh karena itu, orientasi mimetik bukan halangan bagi kritik sastra ilmiah.

2) Teori Kritik Sastra Sosiologi Sastra
Hubungan antara sastra dan masyarakat telah disadari oleh para peneliti sastra akademik aliran Kritik Sastra Rawamangun. Dikemukakan oleh Oemarjati dalam Pradopo (2002:257) bahwa dalam hubungan dengan masyarakatnya, hasil seni (sastra) merupakan sistem norma konsep-konsep ide yang bersifat intersubjektif dan harus diterima sebagai sesuatu yang ada dalam ideologi kolektif. Dengan demikian, dalam membahas Atheis ia meninjau juga latar belakang masyarakatnya. Atheis menggambarkan individu kecil dalam kemasyarakatannya, juga Atheis merupakan potret pergulatan masyarakat yang melingkupi si individu tadi.

Tokoh sastra Indonesia yang pertama kali secara nyata memperkenalkan teori (kritik) sosiologi sastra adalah Sapardi Djoko Damono dengan bukunya Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas mengemukakan hubungan antara sastra, sastrawan, dan masyarakat yang bersifat timbal balik yang menimbulkan pertanyaan utama (pokok) dalam lingkup sosiologi sastra. Di antara pertanyaan itu adalah: (1) apakah latar belakang pengarang menentukan isi karyanya; (2) apakah karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya; (3) apakah karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah dengan sendirinya bermutu tinggi; (4) sampai berapa jauh karya sastra mencerminkan keadaan zamannya; (5) apakah pengaruh masyarakat yang semakin rumit organisasinya itu terhadap penulisan karya sastra, dan sebagainya. Itulah persoalan-persoalan penting peneliti dalam penelitian (kritik) sastra dalam hubungannya dengan masyarakat (Pradopo, 2002:258).

Istilah sosiologi sastra tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiostruktural terhadap sastra. Ada dua kecenderungan pokok dalam penelitian sosiologis terhadap karya sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Kedua, pendekatan yang beranggapan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan dengan metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Jadi, dalam dua kecenderungan telaah sosiologi sastra yang dikemukakan Sapardi dalam Pradopo (2002:258) itu justru yang menjadi tujuannya adalah penerangan gejala sosial ekonomi di luar sastra. 

Selanjutnya Sapardi dalam Pradopo (2002:259) menerangkan dalam esainya yang berjudul “Literature and Society” Ian Watt membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, hubungan dengan konteks sosial pengarang dalam masyarakatnya, yang terutama diteliti (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) profesionalisme dalam kepengarangan, dan (c) masyarakat apa yang dituju pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial masyarakat melibatkan pertanyaan-pertanyaan: sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.

Di samping Damono, di antara kritikus akademik yang berbicara tentang sosiologi sastra adalah Mursal Esten, Andre Hardjana, Faruk H.T., dan Umar Junus. Mursal Esten dalam membicarakan novel-novel Indonesia secara sosiologis berdasarkan pada hipotesisnya, sedang Andre Hardjana dalam Pradopo (2002:261) berbicara tentang hubungan sastra dengan sosiologi lebih bersifat memberikan reaksi daripada menggelarkan teori kritik sosiologi sastra.

Dalam bab II, “Novel-novel Indonesia dan Tata Nilai” dalam bukunya Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, Mursal Esten dalam Pradopo (2002:261) mengemukakan hipotesis bahwa latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penciptaan, begitu juga dalam novel Indonesia; pengaruhnya tidak hanya dalam tema-tema, tetapi juga dalam strukturnya. Novel-novel Indonesia merupakan gambaran suatu proses perubahan sosial dan tata nilai.

Selanjutnya, Umar Junus adalah tokoh kritikus akademik yang banyak menyerap dan menerapkan teori-teori kritik sastra Barat yang baru. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode (1986), Umar Junus dalam Pradopo (2002:264) memaparkan teori sosiologi sastra yang mendasari penelaahannya terhadap novel dan puisi Indonesia serta Malaysia. Umar Junus menggabungkan teori sosiologi sastra yang diuraikan oleh Alan Swingewood, R. Escarpit, Leo Lowenthal, H. Taine, G. Plekhanov, Lucien Goldmann, J.L. Peacock, Dick Hebdige, J.S.R. Goodlad, Zima, dan J. Duvignaud. Ia tidak menerangkan pengertian sosiologi sastra, tetapi langsung pada persoalan dan prinsip-prinsip teori sosiologi sastra.

Berdasarkan uraiannya, disusun rencana pembicaraan sosiologi sastra yang berhubungan dengan hal-hal: (1) karya sastra dilihat sebagai dokumen sastra; (2) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra; (3) penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap (sebuah) karya sastra sastrawan tertentu dan apa sebabnya; (4) pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra; (5) pendekatan strukturalisme genetik (genetic structuralism) Goldmann; (6) pendekatan Duvignaud yang melihat mekanisme universal dan seni, termasuk sastra (Junus dalam Pradopo, 2002:264).

3) Teori Kritik Sastra Strukturalisme
Teori kritik sastra strukturalisme ini didasari adanya sesudah pertengahan 1970-an. Para kritikus akademik yang mengkritik karya sastra yang hendak bersifat ilmiah dengan sadar, secara eksplisit, menyatakan mempergunakan teori dan metode strukturalisme sebagai landasan kritik sastranya. Dapat dikatakan yang pertama kali mengemukakan teori kritik strukturalisme adalah Sapardi Djoko Damono dalam buku Sosiologi Sastra. Secara singkat Damono dalam Pradopo (2002:267) mengenukakan beberapa ciri metode strukturalisme. ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut: (a) perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas; (b) strukturalisme tidak menelaaah struktur pada permukaanya, tetapi struktur yang ada di balik kenyataan empiris; (c) analisis menyangkut struktur sinkronis, bukan diakronis; dan (d) pendekatan strukturalisme bersifat antikausal.

4) Teori Semiotika Sastra
Sebagai sarana memahami karya sastra teori semiotika diperlukan untuk menangkap makna unsur-unsur struktural karya sastra dalam jalinannya dengan keseluruhan karya yang harus memperhatikan sistem tanda yang dipergunakan dalam karya sastra. Dapat dikatakan struktur karya sastra itu merupakan struktur sistem tanda-tanda yang bermakna (Pradopo, 2002:270).

Dalam lapangan semiotik pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1) penanda (signifier) atau yang menandai merupakan bentuk tanda, dan (2) petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Ada tiga jenis tanda yang pokok berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah, yaitu persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan petanda. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah antara keduanya, hubungannya bersifat arbitrer atau mana suka, berdasarkan konvensi masyarakat (Pradopo, 2002:270).

5) Teori Kritik Sastra Estetika Resepsi 
Teori kritik sastra estetika resepsi menempatkan pembaca sebagai penyambut aktif terhadap karya sastra, baik karya sastra itu sengaja diperuntukkan bagi pembaca maupun karya sastra yang pembacanya “anonim”, karya sastra yang tidak ditujukan kepada pembaca. Dalam estetika resepsi pembaca menyambut karya sastra berdasarkan “horizon harapan”-nya, dapat dikatakan bukan pembaca “kolektif” dengan status sosial yang sama atau mutu intelektual yang sama (Pradopo, 2002:276).

Menurut Pradopo (2002:276) prinsip kritik sastra estetika resepsi adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi pembaca terhadap karya sastra. Teori estetika resepsi adalah horizon harapan atau cakrawala harapan dan tempat terbuka. Metode estetika resepsi mendasarkan kritik sastra pada tanggapan para pembaca yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Umar Junus dalam Pradopo (2002:277) mengungkapkan bahwa kehidupan historis sebuah karya sastra itu tidak terpikirkan tanpa partisipasi dan peranan aktif pembaca sebagai pembentuk sejarahnya. Karya sastra bukan objek yang berdiri sendiri, melainkan selalu terkait kepada pembacanya di setiap periode. Sebuah karya sastra merupakan sebuah orkestrasi yang merupakan suara-suara baru di antara pembacanya.

Selain beberapa teori yang diungkapkan tersebut, kritik akademik juga dapat diterapkan dengan menggunakan teori-teori lainnya, seperti teori psikologi, hegemoni, antropologi, dan lain-lain. Teori-teori tersebut dapat diterapkan selama sebuah kritik dibangun menggunakan kerangka ilmiah dalam menyusun kritik sastra.

Daftar Pustaka
Imam, Safrul Santoso. 2014. “Kritik Sastra Populer dan Kritik Sastra Akademis”. 
          http://caproel.blogspot.com/2014/02/kritik-sastra-populer-dan-kritik-sastra.html.
          Diakses Tanggal 1 Mei 2014 pukul 8:40. 
Lestari, Dian. 2012. “Kritik Sastra Akademik”. http://pingdung.blogspot.com/2012/12/kritik- sastra-akademik-oleh-dian-lestari_9.html. Diakses tanggal 1 Mei 2014 pukul 8:39.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra Teori dan Penerapannya
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Posting Komentar untuk "KRITIK SASTRA AKADEMIK (PENGERTIAN, CONTOH, DAN TEORI)"