MASA DEPAN KRITIK SEPULUH TAHUN KE DEPAN MELIHAT PERKEMBANGAN KONDISI KRITIK SASTRA PADA MASA SEKARANG INI

Jika melihat sejarah perkembangan kritik sastra khusunya kritik sastra modern (1920-an hingga 1988). Sebuah kritik akan selalu berkembang, perkembangannya ditandai oleh beberapa masalah yang berkaitan dengan karya dan kritik sastra itu sendiri. Pada masa ini perkembangan kritik sastra dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, kritik sastra sebagai bentuk penilaian. Sebagai bentuk penilaian, kritik sastra muncul pada tahun 2004 ketika novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy menjadi salah satu tema pembicaraan masyarakat. Setelah difilmkan oleh Hanung Bramantyo, novel itu semakin banyak dibahas. Setelah kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta, pada tahun 2005 muncul pula salah satu novel terbaik sepanjang masa yaitu Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel ini juga dikemas menjadi sebuah film oleh Riri Riza. Mengikuti jejak kedua novel tersebut, kemudian banyak bermunculan novel-novel lain seperti Perempuan Berkalung Sorban, Negeri 5 Menara, 5cm, dan Perahu Kertas yang juga diangkat menjadi sebuah film. 

Selanjutnya, hal menarik dari pola perkembangan kritik sastra penilain tersebut adalah novel-novel setelah difilmkan semakin laris dan banyak dicari oleh penikmat sastra. Sayangnya, kritik sastra sebagai bentuk penilaian ini hanya sebatas impresi dari para penikmat sastra. Sehingga kritik sastra yang diberikan belum mencapai tujuan dari karitk sastra yaitu penilain baik buruknya karya sastra tersebut. Kedua, kritik sastra sebagai bentuk penghakiman dan pemaknaan. Jika kritik sastra dalam bentuk penilain dapat dilakukan oleh semua orang, maka kritik sastra dalam bentuk penghakiman dan pemaknaan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang sastra. 

Setelah munculnya novel-novel tersebut, muncul banyak kritik sastra yang berkaitan dengan novel-novel yang telah filmkan tersebut. Kritik sastra penghakiman dan pemaknaan umumnya dilakukan oleh para akademisi (peneliti, dosen, dan mahasiswa) dan sastrawan. Kritik sastra dalam bentuk ini banyak dikemas menjadi sebuah tugas akhir (skripsi), penelitian, dan artikel. Sayangnya, kritik sastra yang dihasilkan tidak dicetak menjadi sebuah buku. Hal ini menjadi salah satu masalah perkembangan sastra pada masa ini. Penerbit tidak tertarik menerbitkan kritik sastra karena mereka melihat sedikitnya konsumen pada tema yang terkait dengan kritik sastra.

Selanjutnya, novel yang banyak dikritik dalam bentuk penilain, pengakiman, dan pemaknaan adalah novel kontroversial karya dua pengarang perempuan yaitu Djenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami. Terima kasih pada kedua pengarang ini karena telah membangkitkan kembali hasrat para penikmat sastra untuk memerhatikan karya sastra. Selain itu, kedua pengarang ini juga membentuk sebuah masa, di mana masa itu patut dicatat oleh sejarah sastra. Seperti yang telah diketahui kedua pengarang ini menjadi perhatian para akademisi dan sastrawan karena novel-novelnya berisi hal-hal tabu. Tema novel-novel karya kedua pengarang tersebut salah satuunya adalah seksualitas. 

Pengarang membahas seksualitas dalam novel-novelnya dengan cara yang vulgar, sehingga muncul beberapa reaksi baik dari sastrawan maupun akademisi. Salah satu reaksi dari novel-novel hasil dari kedua pengarang tersebut adalah munculunya tulisan dari Taufiq Ismail. Taufiq Ismail dalam tulisannya pada Jawa Pos, 17 Juni 2007 mengelompokkan novel dari kedua pengarnag tersebut ke dalam kelompok sastra SMS (sastra mazhab selangkangan) atau sastra FAK (fiksi alat kelamin).

Berdasarkan beberapa fenomena tentang perkembangan kritik sastra dewasa ini, maka kritik sastra pada sepuluh tahun ke depan memiliki sesuatu yang dapat diharapkan. Pengarang karya sastra khususnya novel banyak bermunculan akhir-akhir ini dan tema-tema yang dibahas juga lebih beragam. Hal ini dapat menjadi modal awal bagi berkembangnya kritik sastra pada sepuluh tahun ke depan. Sepuluh tahun ke depan tema-tema yang akan diangkat oleh pengarang tidak akan jauh berbeda dari tema yang telah ada sekarang ini. Jika ingin melihat perubahan suatu tema dibutuhkan waktu setidaknya 50 tahun karena suatu budaya dapat dikembangkan minimal 50 tahun. 

Beberapa masalah yang perlu diperhatikan di antaranya bagaimana meningkatkan minat masyarakat pada kritik sastra, sehingga penerbit tertarik untuk menerbitkan buku kritik sastra. Seperti yang diketahui, penerbitan kritik sastra dalam bentuk buku, terus mengalami penurunan setelah H.B. Jassin wafat. Selain itu, karya sastra dalam bentuk puisi (dalam bentuk buku) akhir-akhir ini tidak banyak bermunculan dan tidak menjadi perhatian para penikmat sastra. Puisi-puisi hanya dimuat pada media cetak berupa koran, sehingga penikmat sastra mengalami kesulitan ketika ingin membaca kembali puisi-puisi tersebut. 

Posting Komentar untuk "MASA DEPAN KRITIK SEPULUH TAHUN KE DEPAN MELIHAT PERKEMBANGAN KONDISI KRITIK SASTRA PADA MASA SEKARANG INI"