CARA MENGHADAPI SISWA YANG TIDAK MAU MENGARANG

Mengarang adalah bagian dari kompetensi menulis. Menulis, dalam hal ini mengarang adalah komptensi yang dirasa sulit oleh beberapa siswa. Berbeda halnya dengan komptensi bahasa lainnya, seperti menyimak, berbicara, dan membaca. Di dalam kelas dasar, seperti SD/MI dan SMP/MTs kita sering menjumpai siswa yang tidak mengarang pada saat siswa lain mengarang. Ketika guru menanyakan penyebabnya, ternyata siswa tersebut tidak mengarang karena ia tidak dapat mengarang. Jika menemui kasus seperti ini, beberapa oknum guru biasanya langsung memarahi siswa tersebut. Bahkan kadang siswa tersebut dicap sebagai siswa yang, nakal, bandel, dan bahkan maaf, b****.

Ada sebuah cara yang saya kira menarik untuk dicoba. Cara tersebut adalah pertanyaan penuntun. Guru meminta siswa yang belum bisa mengarang agar menuliskan keadaannya tidak mengarang dan penyebabnya. Guru bertanya lebih lanjut tentang penyebab siswa tersebut tidak bisa mengarang. Kemudian guru menyuruh siswa tadi menulis penyebab ia tidak bisa mengarang. Guru menanyakan banyak hal tentang mengarang, siswa menjawabnya. Semua pertanyaan dan jawaban ditulis. Hasilnya ternyata siswa tadi sebenarnya dapat mengarang, namun ia tidak mengetahui cara melakukannya. 

Guru membimbing siswa dengan pertanyaan penuntun. Kemudian bagaimana jika karangan yang ditugaskan adalah karangan bertema? Jika berupa karangan bertema maka strategi yang digunakan juga sama, yaitu menggunakan pertanyaan penuntun. Guru dapat mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan tema. Misalnya, siswa ditugaskan membuat karangan dengan tema alam. Karena alam adalah tema yang sangat luas, maka harus dipersempit lagi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam proses mengarang.

Berikut adalah contoh mengarang dengan menggunakan pertanyaan penuntun dengan tema alam. Pertama siapkan daftar pertanyaan dan minta siswa untuk mencatat jawabannya. Saya lebih suka menggunakan daftar pertanyaan lima W (what, where, why, when, dan who) satu H (how) atau ADIKSIMBA (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana). Daftar pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar yang terdapat di setiap karangan. Namun, kadang tidak semua daftar pertanyaan itu ada pada karangan. Sebuah karangan kadang hanya berisi dua, tiga atau empat pertanyaan. Bahkan juga terdapat pertanyaan lain, seperti berapa.

Contoh:
Guru: Sudah tahukan bahwa alam itu luas, ada hutan, sungai, sawah, ladang/kebun, pantai, gunung dan bukit, kira-kira di antara banyak pilihan itu, apa yang kamu suka? (apa/what
Murid: Saya suka hutan Pak.
Guru: Wah, bagus sekali, saya juga suka hutan, apakah kamu pernah ke hutan, dengan siapa kamu ke hutan? (apa dan siapa/ what and who)
Murid: Pernah Pak, saya ke hutan bersama Ayah.
Guru: Pasti menyenangkan ya, bisa ke hutan bersama ayah, kapan kamu ke hutan dan di mana letak hutannya? (kapan dan di mana/when and where)
Murid: Saya ke hutan ketika liburan Pak, letaknya di pinggir kota.
Guru: Oya, kamu pasti senang bisa liburan bersama Ayah ke hutan, mengapa kamu ke hutan, apa karena kamu diajak oleh ayah atau kamu yang meminta kepada ayahmu? (mengapa/why)
Murid: Saya diajak oleh Ayah, karena Ayah sudah berjanji ingin mengajak saya ke sana.
Guru: Ayah kamu orang yang hebat, dia tidak lupa pada janjinya, oya bapak ingin tahu bagaimana kamu ke sana, dengan menggunakan kendaraan di rumah, kendaraan umum atau jalan kaki? (bagaimana/how)
Murid: Saya ke sana menggunakan motor Pak, Ayah yang membonceng saya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikembangkan lagi dengan cara yang sama. Misalnya: mengapa saudara dan ibumu tidak ikut ke hutan? Apakah hutannya luas? Apa saja yang kamu lihat di hutan? Apakah kamu melihat binatang buas di sana? Apakah di hutan ada pemburu? Apakah hutan tempat yang berbahaya, mengapa? Apa saja yang kamu lakukan di hutan? Kapan kamu sampai ke hutan (pagi, siang, sore, atau malam)? Atau berapa jam yang kamu butuhkan hingga sampai di hutan? kapan kamu pulang dari hutan? Bagaimana perjalanan pulangmu? Apakah menurut kamu hutan tempat yang indah, menyenangkan, membosankan atau menakutkan? Mengapa hutan menjadi tempat yang indah, menyenangkan, membosankan atau menakutkan? Bagaimana caranya agar hutan tetap menjadi tempat yang indah dan menyenangkan? Bagaimana caranya agar hutan tidak menjadi tempat yang membosankan dan menakutkan? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Selamat belajar dan mengajar.

Tulisan ini dikembangkan dari buku Asyik Belajar dengan PAKEM: Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar (Sd/MI) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs) tahun 2006 dalam program Managing Basic Education (MBE) oleh USAID.

Posting Komentar untuk "CARA MENGHADAPI SISWA YANG TIDAK MAU MENGARANG"